Kepulauan Riau – Aroma ketidakadilan kian tercium di Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Balai Karimun. Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Persatuan Wartawan Duta Pena Indonesia (PWDPI) Provinsi Kepulauan Riau, Hatik Hidayati Setiowati, dengan tegas menuding adanya dugaan praktik oligarki demi memenangkan PT Karimun Sejahtera Propertindo (KSP). Ratusan masyarakat pun disebut-sebut menjadi korban dari keputusan tersebut.
Putusan yang menjadi sorotan ini adalah perkara dengan nomor 19/Pdt.G/2024/PN.Tbk, yang memutuskan kemenangan untuk PT KSP. Menurut Hatik, keputusan ini sarat kejanggalan dan mengabaikan fakta di persidangan.
"Mewakili ratusan warga yang dirugikan, kami sepakat melakukan banding di Pengadilan Tinggi Kepri serta akan mengadakan aksi unjuk rasa besar-besaran," tegas Hatik saat dikonfirmasi Selasa (2/9/2025).
Ia juga menyebut adanya dugaan persekongkolan antara pihak perusahaan dengan oknum pengadilan serta Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat. Sejumlah eksepsi yang diajukan pihaknya pun diabaikan, termasuk:
1. Error in persona karena salah sasaran (Error in subjectum).
2. Error in persona karena kurang pihak (Exeptie plurium litis consortium).
3. Gugatan kabur akibat kesalahan penulisan dan identitas tergugat.
4. Gugatan kabur (Obscuur Libel).
5. Gugatan kabur karena posita dan petitum kontradiksi.
6. Gugatan kabur karena objek sengketa tidak jelas (Error in objecto).
Namun, menurut Hatik, majelis hakim justru menolak semua eksepsi tersebut tanpa pertimbangan hukum yang lengkap dan menyeluruh.
"Padahal, fakta persidangan jelas menunjukkan bahwa tanah tersebut telah dikuasai warga selama lebih dari 30 tahun, sementara pihak PT KSP sejak tahun 2000 tidak pernah turun ke lapangan ataupun mengelola lahan," jelasnya.
Ia menuding adanya dugaan praktik mafia tanah yang terstruktur, masif, dan sistematis (TSM). Oleh karena itu, Hatik meminta Presiden Prabowo, Menteri ATR/BPN Nusron Wahid, Mahkamah Agung, dan Kejaksaan Agung untuk memeriksa para oknum yang diduga terlibat.
"Sesuai aturan, jika tanah tidak dikelola lebih dari dua tahun, negara berhak mengambil alih. Lebih dari itu, jika tanah tidak dikuasai selama 20 tahun, maka hak milik dinyatakan hilang," pungkasnya.
Kasus ini dipastikan akan terus berlanjut dan menjadi sorotan publik di edisi mendatang. (Tim Media Group PWDPI).

