Indramayu – Ketegangan politik di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, terus meningkat. Setelah sebelumnya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Indramayu memerintahkan pengosongan Gedung Graha Pers Indramayu (GPI) yang menuai kontroversi, kini langkah serupa diarahkan pada kantor DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Langkah ini memicu protes keras dan tudingan bahwa pemerintah daerah, di bawah kepemimpinan Bupati Lucky Hakim, bersikap arogan dan melakukan tindakan yang dianggap tidak adil.
Gedung GPI, yang selama ini digunakan oleh sejumlah organisasi pers dan jurnalis, menjadi sorotan publik setelah adanya surat pengosongan. Belum tuntas polemik tersebut, kini giliran kantor PDIP—yang juga ditempati oleh Plt Ketua DPRD Indramayu, H. Sirojudin—yang diperintahkan untuk dikosongkan.
Surat perintah pengosongan tersebut dikeluarkan oleh Sekretaris Daerah Aep Surahman atas nama Bupati Lucky Hakim. Padahal, PDIP adalah partai pemenang pemilu legislatif di Indramayu.
Ketua DPC PDIP Indramayu, H. Sirojudin, membenarkan adanya surat tersebut dan mengingatkan bahwa proses penertiban aset daerah harus dilakukan secara adil, tanpa tebang pilih.
“Tidak masalah, kita ikuti prosedurnya. Tapi saya ingatkan, harus ada keadilan. Kalau tidak, kami siap melawan dengan kekuatan politik kami di dewan,” tegasnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa berdasarkan kesepakatan pinjam pakai, penggunaan gedung kantor DPC PDIP masih sah hingga pertengahan tahun 2027. Sirojudin mempertanyakan mengapa hanya gedung milik PDIP yang disasar, sementara gedung milik partai lain seperti Golkar dan PPP—yang juga merupakan aset Pemkab—masih digunakan tanpa persoalan.
“Kalau memang ingin menertibkan, maka harus semuanya. Jangan hanya kami yang diminta keluar, sementara yang lain dibiarkan. Banyak aset daerah, baik gedung maupun kendaraan, yang juga masih digunakan pihak lain,” sindir Sirojudin.
Situasi ini pun menimbulkan spekulasi di tengah masyarakat. Banyak yang bertanya-tanya, apakah kebijakan pengosongan gedung ini murni penataan aset, atau justru bagian dari manuver politik tertentu yang bisa memicu ketegangan lebih jauh di daerah. (Thoha)

