Indramayu – Upaya eksekusi pengosongan Gedung Graha Pers Indramayu (GPI) yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Indramayu melalui Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), berujung gagal total. Eksekusi yang dijadwalkan pada Jumat, 18 Juli 2025 tersebut batal dilakukan karena tim eksekutor tidak dapat menunjukkan dokumen sah atas kepemilikan tanah dan gedung.
Ketidaksiapan ini memicu reaksi keras dari ratusan wartawan yang hadir. Mereka serempak menolak eksekusi dan meminta tim eksekutor segera meninggalkan lokasi. Uniknya, para wartawan bahkan mengantar kepulangan Satpol PP dan utusan BKAD hingga ke mobil dinas mereka.
Tanpa Bukti Kepemilikan, Eksekusi Ditolak
Eksekusi dimulai dengan penyampaian perintah dari BKAD yang diwakili oleh Rio Sumantri, staf Bidang Aset. Ia menyampaikan bahwa pengosongan gedung GPI dilakukan berdasarkan surat perintah dari Sekretaris Daerah Indramayu, Aep Surahman. Namun, saat diminta menunjukkan bukti kepemilikan, Rio tidak dapat memberikan dokumen yang dimaksud.
Hal ini memicu kemarahan dari para wartawan. Mereka langsung meminta proses eksekusi dihentikan. Kasat Pol PP, Teguh Budiarso, yang juga memberikan penjelasan, tetap tidak mampu menenangkan situasi karena argumen yang disampaikan dianggap tidak berdasar.
Kericuhan tak terelakkan. Wartawan mengusir tim eksekutor secara damai, namun tegas, hingga mereka meninggalkan lokasi dengan tangan kosong.
Solidaritas Wartawan Se-Jawa Barat
Peristiwa ini menjadi sorotan nasional karena melibatkan solidaritas para wartawan dari berbagai wilayah di Jawa Barat. Hadir dalam kejadian tersebut wartawan dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cirebon, Majalengka, Karawang, Subang, dan Sukabumi yang memberikan dukungan penuh kepada rekan mereka di Indramayu.
"Jika tim dari eksekutor tidak bisa membuktikan sertifikat kepemilikan GPI, lebih baik kalian bubar," tegas Sekretaris FPWI (Forum Perjuangan Wartawan Indramayu), Tomi Susanto di hadapan tim eksekutor.
Perintah Paksa Dinilai Arogan dan Tak Berdasar
Perintah pengosongan gedung GPI sendiri berasal dari Bupati Indramayu, Lucky Hakim, melalui surat resmi yang ditandatangani Sekda Aep Surahman sebanyak dua kali. Surat terakhir berisi teguran keras dan ancaman pengosongan paksa dengan pengerahan Satpol PP.
Ancaman tersebut memicu kemarahan komunitas wartawan Indramayu yang menilai tindakan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan cenderung otoriter.
Ketua Forum Ketua Jurnalis Indramayu (FKJI), Asmawi, menyatakan bahwa gedung GPI bukan merupakan aset murni Pemkab Indramayu, melainkan milik Desa/Kecamatan Sindang, Kabupaten Indramayu.
"Gedung GPI itu sengaja dibangun dan disempurnakan oleh bupati-bupati terdahulu. Tujuannya agar terwujud sinergi dan kolaborasi konstruktif untuk bersama memajukan Indramayu. Sekarang, tatanan yang sudah baik itu dirusak oleh bupati saat ini (Lucky Hakim) untuk hal yang tidak menyentuh kepentingan masyarakat," tukas Asmawi.
Sejarah Gedung GPI dan Ancaman Pembungkaman Pers
Ketua PWI Kabupaten Indramayu, Dedy Musashi, juga mengecam tindakan pengosongan paksa gedung GPI. Ia menilai bahwa kebijakan Bupati Lucky Hakim akan menjadi preseden buruk dan bentuk pembungkaman pers.
"Balai Wartawan lalu diresmikan oleh gubernur Jawa Barat saat itu, Yogie S Memet. Kemudian disempurnakan oleh bupati-bupati Indramayu, hingga masa bupati Nina Agustina. Sekarang saat Lucky Hakim menjabat bupati, malah seenaknya ingin memberangus sejarah kewartawanan," tegas dia.
Menurut Dedy, gedung yang dibangun sejak tahun 1985 ini merupakan simbol penghargaan terhadap wartawan yang telah berjasa dalam pembangunan daerah. Ia menyayangkan tindakan bupati saat ini yang tidak menghargai nilai sejarah dan kontribusi pers. (Thoha.)

