"MISTERI UNDANGAN PERNIKAHAN" "MISTERI UNDANGAN PERNIKAHAN"

Advertisement

Advertisement

"MISTERI UNDANGAN PERNIKAHAN"

, January 29, 2024
Last Updated 2024-01-29T01:58:11Z
Advertisement


Kabar Ngetren - Kepanikanku makin menjadi. Aku terus memanggil-manggil Kinansih tapi tak ada sehutan. Ke mana anak itu? Tadi masih duduk di depanku. 

Suasana malam di desa Balarojo semakin mencekam disertai embusan angin dari berbagai arah. Aku meminta pada Pak kusir untuk putar balik kembali ke rumah Mbah Singgih.

Lolongan anjing terus terngiang di kepala. Desa sesepi ini, mungkin banyak anjing liar.

"Pak, temen saya tiba-tiba hilang. Mending kita balik ke rumah Mbah Singgih, Pak! Ayo!" perintahku yang langsung disetujui dengan anggukan oleh Pak kusir.

Putar balik kali ini, aku memilih menutup kedua mata sampai delman berhenti di halaman rumah Mbah Singgih. Aku turun dari delmam dengan tergesa-gesa.

Tampak Kinansih sedang berdiri di dekat lampu petromax yang tergantung di sebelah pilar kayu teras rumah Mbah Singgih. Pendar lampu petromax menunjukkan raut wajah datar Kinansih.

Ia berdiri mematung dengan tatapan lurus ke arah depan, masih dengan tas ransel di punggungnya. Rambut panjang digerai milik Kinansih, tersibak angin ke belakang.

"Ya Allah, Kinansih! Bagaimana bisa kamu di sini? Apa yang terjadi?" tanyaku sembari menepuk pundaknya.

Kinansih masih berdiri mematung, tatapannya kosong. Samar-samar aku mendengar suara gesekan langkah sandal di lantai tanah. Ternyata Mbah Singgih yang beranjak keluar menghampiri kami.

Beliau datang membawa sebuah cobek berisi air rendaman daun dadap sekitar tiga tangkai.

Mbah Singgih menatap tajam ke arahku seolah memberi isyarat bahwa ada yang salah dengan Kinansih. Beliau mengangkat tiga tangkai daun dadap dari rendaman, kemudian mengibas-ngibaskannya di sekitar tempat Kinansih berdiri. 

Cipratan air dari rendaman daun dadap menyadarkannya dari lamunan. Beberapa saat kemudian, Kinansih mengucek matanya. Ia menatap ke arahku dengan ekspresi bingung. 

"Nan, ini aku!" teriakku dengan perasaan panik.

"Sudah! Kalian langsung saja berangkat! Ingat pesan Mbah. Kalau kalian mau perjalanan lancar jangan coba-coba bersikap ceroboh dan semena-mena di desa ini." Lagi-lagi Mbah Singgih memberi peringatan.

Aku menarik lengan Kinansih saat ia masih dalam keadaan linglung. Kami beranjak menaiki delman dan kali ini, mataku fokus mengawasi Kinansih ketika delman mulai melaju.

Dalam hati sudah bertekad untuk tidak terkecoh oleh keadaan sekitar. Tak sekalipun pandanganku beralih pada objek lain selain Kinansih.

Laju delman semakin cepat, kami mulai dibawa melewati beberapa pemakaman jalan yang tadi. Berbeda denganku yang fokus mengawasi Kinansih, justru anak ini celingukan sedari tadi.

"Perasaan tadi udah pemakaman. Kok ini pemakaman lagi. Aneh." Kinansih menggaruk-garuk rambutnya. Dua bola matanya sibuk memperhatikan sekitar.

"Ngapain ya, pintu gerbang makam dikasih lampu petromax kaya gitu? Biar apa?" Kinansih mulai nyerocos meski raut wajahnya masih tampak linglung.

Aku sengaja diam agar ia berhenti menanyakan hal apapun tentang desa ini. 

"Ta! Talitaaa! Ditanyain kok diem?" Kinansih menggerak-gerakkan pucuk jemariku.

Merasa tak direspon, Kinansih pun menyerah. Ia ikut diam selama di perjalanan. Hingga sampailah kami di sebuah tempat yang terbilang cukup mengerikan.

Bentukannya memang seperti rumah pada umumnya, tapi ada beberapa gundukan mirip makam yang dipagari bambu di halaman rumah ini. 

Sekitar tujuh gundukan berbaris rapi di halaman. Tiga lampu petromax yang digantung di sebuah kayu menerangi barisan gundukan itu.

Tidak ada nisan ataupun taburan bunga yang biasa ada di sebuah makam. Gundukan ini hanya ditandai batu kali berukuran sedang di masing-masing gundukan.

Bulan di malam ini membulat sempurna. Aku dan Kinansih turun dari delman ketika Pak kusir mengatakan bahwa inilah rumah Giyarti.

"Pak, bener ini rummm ...," ucapku terputus ketika kami menoleh kembali ke arah delman, tapi delman tersebut sudah tidak ada di tempat semula.

Padahal kami belum bayar ongkos, juga belum mengucapkan terimakasih. Agak aneh, karena tadi posisi delman masih di sebelah kami. Kenapa tiba-tiba hilang tanpa suara?

Aku dan Kinansih sempat melangkah ke tengah jalan menengok ke kanan dan kiri untuk memastikan lari ke mana delman tadi. 

Namun, hanya ada remang-remang bayangan pepohonan di jalan, serta kelakar burung malam di bawah sinar rembulan. Mereka terbang dan saling bertabrakan satu sama lain.

"Ke mana delman tadi ya, Ta? Kok tiba-tiba ngilang, setan kali yah? Hiiii," celetuk Kinansih.

"Jaga mulutmu, Nan!" sahutku ketus.

Kami kembali menghampiri halaman rumah Giyarti. Belum ada tenda, barisan kursi, atau semacamnya yang biasa dipakai ketika akan diadakan hajatan. Rumah masih sepi, juga tidak ada tanda-tanda sebuah pernikahan akan digelar.

Padahal sesuai alamat, benar letak rumah Giyarti di desa Balarojo ini. Tiba-tiba saja Kinansih berdecak kesal.

"Nggak rumahnya, nggak desanya, kuburan semua, Ta. Nyesel aku dateng ke rumah Giyarti. Nggak kebayang pasti WC-nya di pinggiran kali, deh," ceplos Kinansih yang seketika membuatku melotot.

"Nan, aku mohon banget deh sama kamu. Sedikit aja kamu ngertiin posisi kita sekarang! Jaga sikapmu!" sentakku yang seketika membuat Kinan memanyunkan bibirnya.

Meski ragu, aku mengajak Kinansih melangkah maju menuju pintu depan rumah Giyarti. Sudah terlanjur basah, tak mungkin kami pulang ke kota malam ini juga.

Keadaan rumah Giyarti sama seperti rumah-rumah lain di desa ini yang tadi kami lewati. Terasnya menggunakkan penerangan dari lampu petromax dan masih berlantaikan tanah. Dinding rumahnya masih berupa anyaman bambu.

"Yarrrr ... Giyartiiii ... buka pintunyaaa! Kita dateng nih," teriak Kinansih. Hal itu membuatku melempar tatapan sinis pada temanku itu sebagai teguran agar ia lebih sopan dalam bertamu.

"Permisiii ...," ucapku seraya mengetuk pintu pelan.

Tak terdengar jawaban dari dalam. Bahkan rumah ini seperti tak berpenghuni karena kami tidak mendengar adanya aktifitas dari dalam.

"Kok sepi banget, ya?" ujarku seraya berusaha mengintip dari jendela.

Rumah Giyarti ini jauh dari tetangga. Sisi kanan dan kiri rumahnya, tampak pekarangan remang-remang ditumbuhi pohon singkong dan pisang.

"Masih nyimpen nomer Giyar nggak, Ta? Coba telepon aja!" titah Kinansih.

"Masih ada, sih. Tapi kan nomor lama, apa masih dia pakai, ya sama dia?" Aku mengeluarkan ponsel dari saku celana dan mencoba membuka kunci layar.

"Coba aja dulu, siapa tahu bisa," perintah Kinansih.

Argghhh sialll. Kenapa sinyalnya blank? Hanya ada notifikasi panggilan darurat. Masa nggak ada sinyal satu garis pun di desa ini, sih?

"Gimana, Ta? Bisa?" tanya Kinansih. Aku menggelengkan kepala.

"Sinyalnya blank. Mana bateraiku juga hampir habis. Coba pakai hapemu!" perintahku.

Kinansih pun mengalami hal yang sama. Sinyal di ponselnya menghilang total.

"Dasar hape nggak guna! Di saat butuh kayak gini malah amsyong! Pen kubanting rasanya," ucap Kinansih geram.

Kami kebingungan sekarang. Sedangkan dari tadi pintu rumah Giyarti diketuk, tidak ada yang membukanya.

Di tengah kekalutan, tiba-tiba saja kami melihat ada rombongan berjalan kaki membawa lampu petromax dari ujung jalan.

Aku dan Kinansih mencoba mendekati rombongan itu dengan harapan bisa mendapat informasi dari mereka tentang Giyarti. Sekitar sebelas orang dalam rombongan ini.

"Tanya sama mereka aja ya, Nan?" Aku melempar pertanyaan.

"Coba aja berhentiin mereka, Ta!" Kinansih setuju.

Aku dan Kinansih berdiri di pinggir jalan depan rumah Giyarti. Berusaha memberhentikan salah satu dari rombongan. 

Agak aneh ketika menatap rombongan ini.  Mereka semua perempuan dengan pakaian jadul berupa kemben. Tak sesuai dengan cuaca dingin di desa ini. Mereka terlalu berani mengenakan kemben saat angin malam begitu menusuk tulang.

Rambut mereka digelung rapi, ada pula yang berambut pendek sebahu. Ekspresi wajahnya datar. Tak ada yang bersuara satu pun, seakan khusyuk merapalkan sesuatu.

Aku menjadi ragu untuk meminta tolong pada mereka. Namun, Kinansih bersikeras memberhentikan rombongan itu.

"Hei, tunggu! Berhenti! Saya mau tanya sesuatu," teriak Kinansih seraya masuk dalam barisan mereka.

Salah satu perempuan yang diberhentikan oleh Kinansih, menatap tajam ke arah Kinansih.

Pendar lampu petromax yang ia pegang di dekat wajah, menunjukkan betapa pucat bibirnya. Juga mengerikan tatapannya.

"Kinansih! Balik sini!" teriakku dari pinggir jalan. Perasaanku sudah tak karuan.

Bukannya minggir, Kinansih justru terus memaksakan diri menghentikan langkah perempuan itu. Aku benar-benar ketakutan di sini. Takut Kinansih berada dalam masalah.

Perempuan yang dihentikan Kinansih melotot, ia seolah meminta agar temanku itu menyingkir.

Namun, ada hal aneh yang sepertinya terjadi. Kinansih tampak berdiri mematung sekarang. Sosok perempuan yang diberhentikan olehnya pun berlalu meninggalkan Kinansih, dan menyusul rombongan yang sudah berada di depan.

Aku langsung berlari ke arah Kinansih ketika ia berdiri sendirian di tengah jalan. Hanya pendar sinar rembulan yang menerangi kami saat ini.

"Nan, sadar, Nan!" Aku menepuk-nepuk pundak Kinansih, tapi ia masih berdiri kaku dengan tatapan wajah beku, tak bergerak sedikit pun.

Angin berembus sepoi melewati tempat kami berdiri di sini. Suara burung hantu terdengar begitu dekat di sekitar kami.

Tengkuk leher rasanya merinding, terlebih ketika ada suara terbawa angin memanggil namaku dari kejauhan.

"Taaaa ... Taa-lii-taaa ...." Suara asing itu membisik lirih dari jarak jauh.

Menurut ibuku, jika ada suara aneh memanggil terasa dekat, maka posisi makhluk halus itu sebenarnya berada jauh. 

Sebaliknya, jika suara panggilan aneh itu terasa jauh, maka makhluk halus itu sebenarnya berada sangat dekat dengan kita.

Sedang tadi Kinansih tak bisa menggerakkan tubuhnya, kini justru tangan kanan Kinansih bergerak perlahan dan jarinya menunjuk lurus ke arah belakangku.

"T-taaa ...." Mulut Kinansih gagap. Matanya melebar, tubuhnya menggigil.

"S-siapa? G-giyarti?" tanyaku berusaha berpikiran positif. 

Kinansih mengangguk, tangannya masih saja menunjuk-nunjuk. Benarkah Giyarti di belakangku?

Suara burung hantu semakin keras, kami berdiri di tengah jalanan sepi tanpa ada satu pun orang yang lewat. Bayangan kami memantul di hamparan tanah oleh sinar bulan. 

Aku tak berani menoleh ke belakang. Kakiku ikut gemetar. Serasa ada yang meniup-niup di tengkuk leher, dingin, merinding.

TrendingMore